Kelompok 5 :
1. Agung Prasetyo 20211347
2. Andi Setiadi 20211746
3. Ary Rachmansyah 21211216
4. Dodi Kurniadi 22211197
5. Panji Sakum Nugroho 27211868
6. Pranki Robin P 25211553
7. Rahimah 28211365
8. Raymoon 25211923
9. Rian Wijayanto 26211099
KATA PENGANTAR
Puji serta
syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga
penulis dapat menyelesaikan Tugas ini dengan judul “TRANSFER PRICING DALAM
PRAKTEK PERPAJAKAN INTERNASIONAL” tepat pada waktunya. Adapun maksud dan tujuan
dari Makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Sofskill Mata Kuliah Akuntansi
Internasional. Selesainya Tugas ini tidak terlepas dari bantuan serta bimbingan
dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima
kasih atas segala bantuan yang diberikan, baik itu bimbingan moril maupun
materil secara langsung maupun tidak langsung yang sangat membantu penulis
dalam pembuatan makalah ini. Ucapan terima kasih, penulis sampaikan kepada
Olivia Febriya Anggraini selaku dosen mata kuliah Akuntansi Internasional yang
telah membantu memberikan Tugas kepada penulis untuk pembuatan makalah ini.
Penulis mengucapkan terima kasih dan dengan segala kerendahan hati semoga.
Makalah ini dapat bermanfaat dan dapat memberikan sumbangan pengetahuan bagi
pembaca guna pengembangan selanjutnya.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Dunia
telah berubah sejak beberapa decade yang lalu, bahkan di beberapa tahun terakhir keadaan menjadi sangat lebih rumit jika
dibandingkan dengan keadaan pada zaman-zaman
dahulu dimana semuanya masih berbaut tradisional
dan semua serba menggunakan tenaga manusia. Globalisasi telah merambah di berbagai sektor di
berbagai Negara, bukan hanya Negara maju, melainkan
juga Negara-negara dunia ketiga. Globalisasi juga tidak hanya masuk dalam tataran teknologi informasi dan
komunikasijuga, tetapi globalisasi telah
masuk dalam celah besar di perekonomian di berbagai Negara di dunia ini. Perubahan
di berbagai kegiatan bisnis pun sudah terjadi mengikuti arusglobalisasi
tersebut. Bukan hanya pemerintah saja yang mengadakan hubunganke luar negeri,
melainkan juga para pebisnis-pebisnis multinasional melakukannya pula. Bahkan, para pengusaha home industry sudah
melakukan penjualan sampai ke luar negeri. Perubahan ini menuntut gerak
cepat para pebisnis untuk segera melakukan penyesuaian-penyesuaian,
sehingga mereka akan mampu bersaing dalam
perdagangan, terutama perdagangan internasional dalam kaitan globalisasi ini. Produksi pun harus lebih
cepat lagi dilakukan sehingga kebutuhan manusia dapat
dipenuhi, apalagi produksi yang sifatnya sangat
diperlukan oleh masyarakat banyak. Ini menuntut para pengusaha
untuk melakukan pabrikasi dengan tenaga yang labih modern lagi, yaitu
dengan robot. Tenaga-tenaga manusia pun menjadi
pelengkap saja untuk produksi yang mungkin
lebih baik jika dikerjakan oleh manusia.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah penulisan ini adalah:
1. Apa
pengertian Transfer Pricing ?
2. Apa
tujuan Transfer
Pricing ?
3. Apa
saja Tipe dan Metode Transfer Pricing ?
4. Bagaimana
Transfer Pricing dalam Perusahaan Multinasional
1.3
Batasan Masalah
Dalam
penulisan ini penulis membatasi masalah hanya pada Pengertian
Transfer Pricing, Tujuan
Transfer Pricing, Tipe
dan Metode Transfer Pricing,
dan Transfer
Princing dalam Perusahaan Multinasional
1.4
Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan
penulisan ini adalah:
1.
Untuk
mengetahui pengertian dari Transfer pricing
2.
Untuk
mengetahui tujuan dari transfer pricing
3.
Untuk
mengetahui tipe dan metode Transfer Pricing
4.
Untuk
mengetahui penggunaan transfer pricing dam perusahaan multinasional
1.5
Manfaat
penelitian
Adapun manfaat penulisan ini adalah :
Penulisan ini dapat memberikan informasi dan
pengetahuan lebih bagi penulis dalam mengetahui dan memahami tentang Tranfer Pricing
Dalam Praktek Perpajakan Internasional serta menerapkan ilmu
yang didapat selama mengikuti perkuliahan sehingga
dapat memberikan manfaat serta memberikan pengetahuan tentang Tranfer
Pricing Dalam Praktek Perpajakan Internasional.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Transfer Pricing
Bagi
organisasi yang terdesentralisasi, keluaran dari sebuah divisi dipakai sebagai
masukan bagi divisi lain. Transaksi antar divisi ini mengakibatkan timbulnya
suatu mekanisme transfer pricing. Transfer pricing didefenisikan
sebagai suatu harga jual khusus yang dipakai dalam pertukaran antar divisional
untuk mencatat pendapatan divisi penjual (selling division) dan biaya
divisi pembeli (buying divison). (Henry Simamora, 1999:272). Transfer
pricing sering juga disebut dengan intracompany pricing, intercorporate
pricing, interdivisional atau internal pricing yang merupakan harga yang
diperhitungkan untuk keperluan pengendalian manajemen atas transfer barang dan
jasa antar anggota (grup perusahaan). Transfer pricing biasanya ditetapkan
untuk produk-produk antara (intermediate product) yang merupakan
barang-barang dan jasa-jasa yang dipasok okeh divisi penjual kepada divisi
pembeli. Bila dicermati secara lebih lanjut, transfer pricing dapat
menyimpang secara signifikan dari harga yang disepakati. Oleh karena itu transfer
pricing juga sering dikaitkan dengan suatu rekayasa harga secara sistematis
yang ditujukan untuk mengurangi laba yang nantinya akan mengurangi jumlah pajak
atau bea dari suatu negara.
Dari
uraian di atas nampak bahwa pada prinsipnya praktik transfer pricing (dengan
harga yang tidak sama dengan harga pasar) dapat didorong oleh alasan pajak (tax
motive) maupun bukan pajak (non-tax motive). Berbagai studi di luar
Indonesia menunjukkan hal tersebut (Carson;1979, Vaitson;1974, dalam
Caves;1996). Motivasi pajak atas praktik transfer pricing dilaksanakan
dengan sedapat mungkin memindahkan penghasilan ke negara dengan beban pajak
terendah atau minimal. Salah satu bentuk pengalihan penghasilan, misalnya dalam
bentuk pembayaran royalti karena dengan sangat langkanya standar harga (tarif)
pasar atas royalti sangat sulit bagi administrasi pajak untuk mengatasinya.
Kopits (dalam Caves;1996) menyatakan bahwa paling kurang 13% pembayaran royalti
dari negara bcrkcmhang (ke negara maju) merupakan transformasi royalti menjadi
dividen. Selanjutnya, sehubungan dengan harga barang (bahan) input produksi,
Lecras (dalam Caves;1996) menyatakan bahwa berdasarkan studi tahun 1985
perusahaan multinasional yang beroperasi di ASEAN memakai dasar selain harga
pasar dalam menghitung transfer pricenya. Semakin mudah tingkat otonomi
anggota perusahaan multinasional di mancanegara semakin tinggi pemanfaatan
strategi transfer pricing. Semakin kurang menentu-nya lingkungan tempat
operasi anggota perusahaan tersebut, semakin besar porsi penjualan ekspor
ketimbang penjualan domestik dan semakin tinggi potensi penghasilan, maka
motivasi pajak terhadap transfer pricing semakin ekstensif.
Masalah
transfer pricing ini juga tidak terlepas dari fenomena bisnis perusahaan besar
yang multi unit yang akan melakukan ekspansi usaha ke luar negeri dengan
mengoprasikan usahanya secara desentralisasi dan mengimplementasikan konsep
cpst-reveneu atau konsep corporate profit center. Idealnya, konsep
desentralisasi profit center tersebut merupakan pula alat yang dapat mengukur
dan menilai kinerja yang juga salah satu tujuan manajemen serta motivasi
pengelolaan unit-unit perusahaan multinasional yang bersangkutan dalam rangka
mencapai tujuan perusahaan. Di samping itu, masalah ketat/tidaknya pengawasan
aparat pemerintah yang terkait serta kebutuhan informasi, merupakan hal vang
akan mendorong; pelaksanaan transfer pricing, sehingga secara
keselturuhan beberapa faktor pendorong pemicu munculnya masalah transfer
pricing tersebut adalah:
1) Pergeseran menuju desenhralisasi,
divisionalisasi, dan penggunaan konsep cnrpu ratc profit center
2) Pemanfaatan transfer pricing dalam
bisnis dan invesatsi internasional.
3) Pengawasan transfer pricing oleh
aparat perpajakan dan bea cukai di beberapa negara.
4) Keperluan pengungkapan segmentasi
informasi dan transaksi antar-unit dalam group perusahaan.
2.2
Tujuan Transfer Pricing
Secara
umum, tujuan penetapan harga transfer adalah untuk mentransmisikan data
keuangan di antara departemen-departemen atau divisi-diisi perusahaan pada
waktu mereka saling menggunakan barang dan jasa satu sama lain (Henry Simamora,
1999:273) Selain tujuan tersebut, transfer pricing terkadang digunakan
untuk mengevaluasi kinerja divisi dan memotivasi manajer divisi penjual dan
divisi pembeli menuju keputusan-keputusan yang serasi dengan tujuan perusahaan
secara keseluruhan. A transfer pricing system should satisfy three
objectives: acurate performance evaluation, goal congruence, and preservation
of divisional autonomy (Joshua Ronen and George McKinney, 1970:100-101).
Sedangkan
dalam lingkup perusahaan multinasional, transfer pricing digunakan
untuk, meminimalkan pajak dan bea yang mereka keluarkan diseluruh dunia Transfer
pricing can effect overall corporate incame taxes. This is particulary true for
multinational corporations (Hansen and Mowen, 1996:496).
2.3
Tipe dan Metode Transfer Pricing
Beberapa
metode transfer pricing yang sering digunakan oleh perusahaan-perusahaan
Multinasional dan divisionalisasi/departementasi dalam melakukan aktifitas
keuangannya adalah:
a. Harga
Transfer Dasar Biaya (Cost-Based Transfer Pricing)
Perusahaan yang menggunakan metode
transfer atas dasar biaya menetapkan harga transfer atas biaya variabel dan
tetap yang bisa dalam 3 pemelihan bentuk yaitu : biaya penuh (full cost),
biaya penuh ditambah mark-up (full cost plus markup) dan gabungan antara
biaya variabel dan tetap (variable cost plus fixed fee).
b.
Harga Transfer atas Dasar Harga Pasar (Market Basis
Transfer Pricing)
Apabila ada suatu pasar yang
sempurna, metode transfer pricing atas dasar harga pasar inilah merupakan
ukuran yang paling memadai karena sifatnya yang independen. Namun
keterbatasan informasi pasar yang terkadang menjadi kendala dalam mengunakan
transfer pricing yang berdasarkan harga pasar.
c. Harga
Transfer Negosiasi (Negotiated Transfer Prices)
Dalam ketiadaan harga, beberapa
perusahaan memperkenankan divisi-divisi dalam perusahaan yang berkepentingan
dengan transfer pricing untuk menegosiasikan harga transfer yang diinginkan.
Harga transfer negosiasian mencerminkan prespektif kontrolabilitas yang inheren
dalam pusat-pusat pertanggungjawaban karena setiap divisi yang berkepentingan
tersebut pada akhirnya yang akan bertanggung jawab atas harga transfer yang
dinegosiasikan.
2.4
Transfer Pricing pada Perusahaan Multinasional
Menurut
Zain (2003:297-298), kebijakan transfer pricing multinasional bertujuan:
a. Memaksimalkan penghasilan global
b. Mengamankan posisi kompetitif
anak/cabang perusahaan dan penetrasi pasar
c. Evaluasi kenerja anak/cabang
perusahaan manca negera
d. Penghidaran pengendalian devisa
e. Mengontrol kredibilitas asosiasi
f. Meningkatkan bagian laba joint
ventura
g. Reduksi resiko moniter
h. Mengamankan cash flow anak/cabang di
luar negeri
Berikut
ini akan diberikan sebuah ilustrasi untuk memperjelas praktek transferpricing
yang biasanya dilakukan oleh perusahaan-perusahaan multinasional.
Perusahaan induk (parent company) yang terletak di Belgia memproduksi
suatu produk, dengan harga pokok Rp 100. Tarif pajak yang berlaku di negara
tersebut adalah 42%. Untuk menghindari pengenaan pajak dengan tarif yang
tinggi, perusahaan induk memutuskan untuk menjual produk tersebut ke anak
perusahaan yang ada di Puerto Rico dengan harga transfer yang sama dengan harga
pokok yaitu Rp 100, sehingga pajak yang terutang atas transaksi penjualan
antara perusahaan induk dan anak perusahaan adalah Rp 0.
Hal
ini disebabkan karena harga transfer yang digunakan sama dengan harga pokok
produk, sehingga atas transaksi ini tidak menimbulkan laba yang akan dikenakan
pajak. Rekayasa atas harga transfer ini dibuat untuk menghindari pajak dengan
tarif yang tinggi yang berlaku di negara tempat perusahaan induk berada.
Kemudian barang yang sudah dibeli, dijual oleh anak perusahaan di Puerto Rico
ke anak perusahaan lain yang ada di Amerika dengan harga transfer Rp 200. Tarif
pajak yang berlaku di negara Puerto Rico adalah 0%. Transaksi penjualan ini
menimbulkan laba sebesar Rp 200. Atas laba yang timbul, seharusnya terutang
pajak. Tetapi karena tarif pajak yang berlaku di negara tersebut 0%, maka pajak
yang terutang atas laba yang dihasilkan adalah sebesar Rp 0. Kemudian barang
yang sudah dibeli oleh anak perusahaan yang ada di Amerika dijual kembali ke
perusahaan yang tidak mempunyai hubungan istimewa di negara yang sama, dengan
harga jual Rp 200. Kebijaksanaan menetapkan harga jual ini dimaksudkan untuk
menghindari pajak dengan tarif yang tinggi yang berlaku di negara yang
bersangkutan. Asumsi tarif pajak yang berlaku di negara Amerika 35%.
Selanjutnya dapat dihitung bahwa pajak terutang atas transaksi penjualan ini
adalah sebesar Rp 0.
Hal
ini disebabkan karena harga jual atas produk tersebut sama dengan harga pokok
pembelian barang, sehingga laba yang timbul atas transaksi ini adalah Rp 0.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari transaksi-transaksi di atas, adalah betapa
pentingnya mengetahui tarif pajak yang berlaku di suatu negara, sebelum
mengambil keputusan untuk melakukan transaksi penjualan dan pembelian barang.
Tabel di bawah ini akan memperjelas ilustrasi di atas.
Tabel : Praktik Transfer Pricing pada Perusahaan
Multinasional
Perusahaan
Induk di Belgia
|
Anak
Perusahaan di Puerto Rico
|
Anak
Perusahaan di Amerika
|
|
Penjualan
Harga
Pokok Penjualan
Laba
Tarif
Pajak
Pajak
Terutang
|
$
100
$
100
$
0
42%
$
0
|
$
200
$
100
$
100
0%
$
0
|
$
200
$
200
$
0
0%
$
0
|
Masalah
transfer pricing ini perlu mendapatkan perhatian lebih lanjut dari
Pemerintah setempat, karena terkadang anak perusahaan yang didirikan dalam
suatu negara, hanya bersifat sebagai transit place atau tempat
persingahan semata. Suatu survey yang dilakukan oleh Ernst & Young LLp,
1999 menemukan bahwa masalah transfer pricing merupakan masalah utama
dalam bidang perpajakan selama kurun waktu 2 tahun terakhir yang terjadi pada
perusahaan-perusahaan multinasional di seluruh dunia. Oleh karena itu banyak
kantor akuntan publik melakukan auditcompliance, untuk melakukan
pemeriksaan atas masalah transfer pricing ini yang memang berpengaruh
terhadap jumlah pajak yang harus dibayarkan. Gambar berikut ini akan memperlihatkan
persentase dilakukannya audit compliance pada perusahaanperusahaan
multinasional yang tersebar di berbagai negara besar di dunia.
Biasanya
cegah tangkal yang dilakukan oleh negara-negara dengan adanya transfer
pricing adalah membuat suatu kewenangan, dimana pemerintah diberikan
wewenang untuk menentukan kembali dengan cara me-realokasikan kembali jumlah
laba dan biaya-biaya yang timbul di perusahaan multinasional yang notabene
punya beberapa divisi, sehingga laba dan biaya-biaya yang timbul sebagai hasil
transaksi antar divisi tersebut yang ditengarai sebagai suatu praktek transfer
pricing yang bisa meminimalkan pajak terutang dapat di cegah. U.S.- Based
multinationals are subject to Internal Revenue Code Section 482 on the pricing
of intercompany transactions. This section gives the IRS the authority to
reaalocate income and deductions among divisions if it believes that such
reallocation will reduce potentiak tax evasion. (Hansen and Mowen,
1996:543). Lebih lanjut ditegaskan bahwa dalam IRS, apabila terjadi transaksi
antar divisi dalam perusahaan multinasional atau terjadi transaksi dalam
perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa, maka harga yang berlaku adalah
harga yang timbul apabila transaksi tersebut dilakukan dengan pihak-pihak di
luar perusahaan atau dengan kata lain, transaksi dilakukan dengan pihak-pihak
yang tidak punya hubungan istimewa. That is, the transfer pricing set should
match the price that would be set if the transfer were being made by unrelated
parties, adjusted for diffrences that have a measurable effect on the price. (Hansen
and Mowen, 1996:543).
2.5
Pengertian dan Tujuan
Penghindaran Pajak Berganda (P3B)
Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda
(P3B) adalah perjanjian internasional di bidang perpajakan antar kedua negara
guna menghindari pemajakan ganda agar tidak menghambat perekonomian kedua
negara dengan prinsip saling menguntungkan antar kedua negara dan dilaksanakan
oleh penduduk antar kedua negara yang terlibat dalam perjanjian tersebut.
Perjanjian ini digunakan oleh penduduk dua negara untuk menentukan aspek
perpajakan yang timbul dari suatu transaksi di antara mereka. Penentuan aspek
perpajakan tersebut dilakukan berdasarkan klausul-klausul yang terdapat dalam
tax treaty yang bersangkutan sesuai jenis transaksi yang sedang dihadapi.
Payung hukum persetujuan penghindaran
pajak berganda atau P3B ini adalah Pasal 32A Undang-undang Pajak Penghasilan
(PPh). Berdasarkan pasal ini Pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian
dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan
pencegahan pengelakan pajak.
2.6
Tujuan
Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda
Dari isi Pasal 32A UU PPh ini jelas
bahwa dilakukannya perundingan dengan negara lain untuk membuat perjanjian
perpajakan ini memiliki dua tujuan utama yaitu pertama menghindari pengenaan
pajak berganda (avoidance of double taxation) dan yang kedua adalah
mencegah pengelakan pajak (prevention of fiscal evasion). Di samping dua
tujuan utama tersebut, terdapat pula tujuan lain yang sebenarnya merupakan
akibat bila dua tujuan utama di atas dicapai. Dalam penjelasan Pasal 32A UU PPh
juga ditegaskan bahwa perjanjian perpajakan yang dilakukan pemerintah ini
adalah dalam rangka peningkatan hubungan ekonomi dan perdagangan dengan negara
lain. Suatu perjanjian perpajakan atau tax treaty bertujuan pula untuk
mendorong arus modal, teknologi, dan keahlian ke suatu negara. P3B juga akan
memberikan kepastian hukum kepada Wajib Pajak, memperlancar transaksi ekonomi
antar negara dan meningkatkan kerjasama antar negara.
2.7
Menghindari
Pajak Berganda (Double Taxation)
Dalam menerapkan ketentuan perpajakan,
yurisdiksi perpajakan suatu negara akan berinteraksi dengan yurisdiksi
perpajakan negara lainnya. Interaksi dua yurisdiksi perpajakan dua negara ini
biasanya akan menimbulkan pajak berganda. Pajak berganda ini timbul karena dua
yurisdiksi perpajakan mengenakan pajak kepada penghasilan yang sama yang
dimiliki oleh subjek pajak yang sama. Misalkan seseorang bernama Mr. X yang
merupakan warga negara A mendapatkan penghasilan yang bersumber dari negara B.
Ketentuan pajak negara A akan mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima
oleh warganegaranya dari manapun sumber penghasilan tersebut. Di lain pihak,
ketentuan pajak negara B juga mengenakan pajak terhadap penghasilan yang bersumber
dari negaranya walaupun penerimanya bukan warga negara atau bukan penduduk
negara B. Nah dalam kasus ini Mr. X akan dikenakan pajak dua kali oleh negara A
dan negara B.
Pajak berganda juga bisa timbul jika
seseorang atau badan memenuhi definisi sebagai subjek pajak dalam negeri (residence)
dua negara. Dengan kondisi ini maka orang atau badan ini akan dikenakan pajak
dua kali juga atas seluruh penghasilannya. Masalah ini biasa dikenal dengan
istilah masalah dual residence. Untuk memecahkan masalah akibat penerapan
ketentuan perpajakan dua negara, maka kedua negara perlu melakukan perundingan
untuk membuat persetujuan penghindaran pajak berganda (P3B). Dalam P3B ini
nantinya akan diatur tentang hak pemajakan masing-masing negara untuk
jenis-jenis penghasilan tertentu. Dalam kasus dual residence, suatu P3B akan
membuat ketentuan sedemikian sehingga seseorang atau badan hanya akan menjadi
residence (subjek pajak dalam negeri) dari satu negara saja. Ketentuan ini
biasa disebut Tie Breaker Rule yang biasanya dimuat dalam Pasal 2 P3B.
Dalam P3B juga biasanya akan diatur
mengenai corresponding adjutment dalam kasus transfer pricing serta
memuat ketentuan tentang metode penghilangan pajak berganda. Corresponding
adjutment mengandung makna bahwa jika satu negara melakukan koreksi harga
dalam suatu transaksi dengan lawan transaksi di negara lain, maka negara lain
juga harus melakukan koreksi sebaliknya agar pengenaan pajak tidak berganda.
2.8
Mencegah
Pengelakan Pajak
Menghindari pajak bisa dilakukan dalam
bentuk tax avoidance dan tax evasion. Tax avoidance
biasanya dilakukan masih dalam koridor ketentuan perpajakan. Apabila
penghindaran ini dilakukan masih sesuai dengan maksud dari pembuat ketentuan,
maka penghindaran ini tidak menjadi masalah. Namun demikian, jika penghindaran
ini dilakukan dengan ”mengakali” peraturan yang tidak sesuai dengan maksud
pembuat undang-undang maka jenis penghindaran ini perlu dipermasalahkan.
Contoh dari pengindaran pajak yang
mengakali ketentuan ini misalnya dengan membuat modal sebagai pinjaman dengan
harapan dividen bisa disebut bunga sehingga bisa dibiayakan. Praktek
menggunakan harga transfer (transfer pricing) dalam transaksi
internasional dengan menggeser laba ke negara dengan low tax rate juga
merupakan salah satu jenis penghindaran pajak seperti ini. Dalam kasus lain,
bentuk penghindaran pajak ini bisa berupa membuat transaksi yang semu walaupun legal
form nya benar. Transaksi semu ini dimaksudkan untuk mendapatkan manfaat
dari suatu tax treaty dimana jika transaksi dilakukan dengan cara yang
seharusnya maka dia tidak akan mendapat manfaat dari suatu tax treaty.
Pendirian conduit company, paperbox company atau special
purpose company biasanya digunakan untuk mendapatkan manfaat suaty tax
treaty.
Penghindaran pajak dalam bentuk tax
evasion bermakna penghindaran pajak dengan melanggar ketentuan pajak
seperti tidak melaporkan penghasilan atau membebankan biaya fiktif. Dengan
demikian, tax evasion berdimensi illegal dan kriminal. Untuk mencegah
terjadinya penghindaran dan pengelakan pajak dalam suatu transaksi
internasional, suatu perjanjian perpajakan biasanya memuat ketentuan tentang
pertukaran informasi. Informasi dari negara lain dapat digunakan untuk
menyelesaikan kasus-kasus penghindaran atau pengelakan pajak seperti kasus treaty
shopping (memanfaatkan ketentuan tax treaty yang tidak semestinya),
kasus transfer pricing ataupun kasus tindak pidana perpajakan.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Dari hasil pembahasan diatas maka hasil yang dapat penulis
simpulkan adalah sebagai berikut:
1.
Transfer
pricing adalah merupakan
harga yang diperhitungkan untuk keperluan pengendalian manajemen atas transfer
barang dan jasa antar anggota (grup perusahaan).
2.
Tujuan
dari transfer pricing adalah untuk
mengevaluasi kinerja divisi dan memotivasi manajer divisi penjual dan divisi
pembeli menuju keputusan-keputusan yang serasi dengan tujuan perusahaan secara
keseluruhan.
3.
Tipe
dan metode Transfer Pricing sebagai berikut:
a.
Harga Transfer Dasar Biaya (Cost-Based Transfer
Pricing yaitu perusahaan
yang menggunakan metode transfer atas dasar biaya menetapkan harga transfer
atas biaya variabel dan tetap.
b. Harga
Transfer atas Dasar Harga Pasar (Market Basis Transfer Pricing) yaitu
apabila ada suatu pasar yang
sempurna, metode transfer pricing atas dasar harga pasar inilah merupakan
ukuran yang paling memadai karena sifatnya yang independen.
c. Harga
Transfer Negosiasi (Negotiated Transfer Prices) yaitu dalam ketiadaan harga, beberapa perusahaan memperkenankan
divisi-divisi dalam perusahaan yang berkepentingan dengan transfer pricing
untuk menegosiasikan harga transfer yang diinginkan.
4.
Penggunaan
transfer pricing dam perusahaan multinasional. Masalah transfer pricing ini perlu mendapatkan
perhatian lebih lanjut dari Pemerintah setempat, karena terkadang anak
perusahaan yang didirikan dalam suatu negara, hanya bersifat sebagai transit
place atau tempat persingahan semata. Masalah transfer pricing merupakan
masalah utama dalam bidang perpajakan selama kurun waktu 2 tahun terakhir yang
terjadi pada perusahaan-perusahaan multinasional di seluruh dunia. Oleh karena
itu banyak kantor akuntan publik melakukan auditcompliance, untuk
melakukan pemeriksaan atas masalah transfer pricing ini yang memang
berpengaruh terhadap jumlah pajak yang harus dibayarkan.